Jumlah kelas menengah di Indonesia terus menurun, dan terdapat lima faktor utama yang menyebabkan kelompok ini turun level menjadi kelas menengah bawah atau aspiring middle class (AMC). Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), menjelaskan penyebab-penyebab ini.
5 Sebab Kelas Menengah RI Jatuh Miskin
1. Lemahnya Industri Manufaktur
Industri manufaktur yang merupakan pilar utama ekonomi Indonesia mengalami tekanan, terutama sektor padat karya, selama kuartal kedua 2024. Akibatnya, banyak perusahaan di sektor ini melakukan efisiensi, termasuk pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal. Bhima juga menyoroti fenomena deindustrialisasi prematur, di mana kontribusi sektor industri terhadap PDB menurun, yang turut berdampak pada gelombang PHK.
2. Tingginya Suku Bunga Perbankan
Suku bunga yang tinggi menjadi beban bagi kelas menengah, terutama terkait cicilan rumah, kendaraan bermotor, dan kredit konsumsi lainnya. Saat ini, Bank Indonesia mempertahankan BI Rate sebesar 6,25 persen, yang berdampak langsung pada biaya cicilan yang harus ditanggung masyarakat.
Baca Juga : 5 Penyebab Kelas Menengah RI Jatuh Miskin
3. Berakhirnya Booming Harga Komoditas
Kenaikan harga komoditas, seperti sawit, nikel, dan batu bara, yang sempat melonjak pada 2021 kini telah berakhir. Akibatnya, pekerja di sektor-sektor tersebut tidak lagi menikmati peningkatan pendapatan yang signifikan.
4. Kebijakan Pajak yang Membebani
Pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11 persen, yang memicu kenaikan harga barang di tingkat ritel. Bhima menyatakan bahwa kebijakan ini mengurangi pendapatan yang bisa dibelanjakan (disposable income) per kapita, terutama karena pungutan dan pajak yang agresif menyasar kelas menengah.
5. Kurangnya Kualitas Investasi Infrastruktur
Belanja infrastruktur dan investasi dinilai tidak cukup berkualitas, dengan dampak serapan tenaga kerja yang kecil dibandingkan jumlah dana yang dikeluarkan. Kenaikan biaya hidup di sektor pangan, perumahan, pendidikan, dan suku bunga, tidak sebanding dengan insentif yang diberikan pemerintah kepada kelas menengah.
Bhima juga menyoroti bahwa bantuan sosial (bansos) yang meningkat saat pemilu hanya menyasar masyarakat di bawah garis kemiskinan. Sementara itu, insentif pajak yang sempat diberikan selama pandemi, seperti pembebasan PPH 21 karyawan DTP, sudah dicabut. Pada saat yang sama, kelas menengah harus menanggung kenaikan tarif PPN yang berdampak pada harga barang ritel yang semakin mahal.